Oleh: Zajran
2 minggu yang lalu, seorang pria kurus yang kira-kira beratnya 52 kg sedang tidur-tiduran
di bangku taman di Taman Kota, Tangerang. Ia adalah Herman. Ia sedang
beristirahat pada jam kerjanya. Maklumlah, kerjaannya adalah pesuruh bos besar
perusahaan pajak di negri ini. Angin tidak berhembus terlalu kencang tetapi
bisa membuat sejuk para pengunjung taman. Kira-kira siang itu pukul 1.
Ponsel Herman bergetar. Tempampang nama “Pak Hartanto” di layar ponselnya.
“Assalamualaikum, selamat siang, Pak.” tanya Herman.
“Cepet lu ambil duit gua di Bank terdeket soalnya Mr. Ali udah ngirim duit
gw dari seminggu yang lalu! Mustahil kalo belom sampe.”
“Berapa jumlah uangnya, Pak?”
“1 milyar!”
Sebelum Herman mengucap salam, bosnya yang seorang keturunan Cina ini menutup
panggilan tersebut.
Herman melongok ke arah tas yang sedari tadi ia gunakan sebagai bantal
untuk tiduran, tas alpina merah besar
dengan banyak sleting. Tas ini adalah pemberian bapaknya ketika Herman ikut
mendaki Gunung Rinjani tahun lalu.
Herman bergegas pergi ke parkiran. Ia mencari motor cina butut miliknya.
Motor tersebut sangat kotor, layaknya motor tukang antar air mineral galon dari
rumah ke rumah.
Tak butuh waktu lama, Herman telah menemukan Bank disekitaran kota tersebut.
Herman bergegas masuk menuju meja para teller
bank bekerja. Ia sengaja memilih seorang teller wanita untuk digoda. Ia
melihat papan nama yang terdapat pada dada busung wanita itu, namanya adalah
Hilda.
“Selamat siang, mbak Hilda.” sapa Herman.
“Siang, Bapak. Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
“Bisakah saya berbicara dengan atasan mbak cantik ini?”
“Atas nama siapa ya, Pak?”
“Hartanto, wanita manis.” Jawab Herman dengan lenjeh.
Hilda merasa canggung dan tidak suka dengan perilaku Herman.
“Baiklah, tunggu sebentar ya.” jawab hilda dengan sinis.
“Oke, wanitaku.”
Mata Hilda melotot melihat ke arah Herman. Ia merasa geli seperti ada ulat
yang berlalu-lalang di lehernya.
Sambil menunggu, Herman melihat ke arah televisi. Kebetulan, siang itu
adalah jamnya berita-berita nasional ditayangkan. Salah satu channel
memberitakan bahwa barang-barang dan bahan makanan pokok harganya merangsek
naik. Hal ini diakibatkan oleh naiknyab harga bahan bakar minyak. Nilai rupiah
pun ikutan anjlok. Tingkat kemiskinan di negri ini pun kian naik pula ke tahap
yang ekstrem.
Setelah selama 2 jam menunggu, ada dua orang memakai jas setelan
menghampiri Herman. Mereka mengajak Herman untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.
Sesampainya di ruangan tersebut, Herman terkaget dengan uang yang berhamburan
di atas meja coklat. Uang itu banyak sekali jumlahnya.
“Saya adalah utusan Pak Hartanto di Bank ini,” salah satu dari mereka
berkata.
“Saya adalah pesuruhnya, Pak,”
“Pak Hartanto sudah menelpon tadi bahwa akan ada anak buahnya yang datang
untuk menjemput uang ini. Ini bukti struknya.” kata yang salah satunya sambil
memberikan sebuah struk yang berisikan angka-angka.
“Oke, Pak.”
Herman langsung memasukan uang-uang tersebut ke dalam tas besarnya hingga
tas alpina tersebut penuh sesak
seperti orang yang ingin mendaki gunung. Herman bergegas meninggalkan ruangan.
Ia mendengarkan lagu selagi mengendarai motor cina bututnya dengan menggunakan headset. Kebetulan sekali lagu yang
sedang dimainkan adalah minority-nya
Green Day. Niatan buruk terlintas di kepala Herman. Ia berpikir dengan uang
sebegini banyak dapat setidaknya membantu beberapa orang miskin dan beberapa
panti asuhan.
Ketika sampai di depan lampu merah BSD Mall, Herman memutar balikkan
motornya. Tekadnya sudah buat. Ia akan menghabiskan uang 1 milyar ini untuk
dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan panti asuhan. Jika Herman melihat
orang miskin yang sedang berada di pinggir jalan, ia langsung melempari orang
miskin tersebut dengan duit segepok layaknya tukang korang yang melempari
korannya dari rumah ke rumah. Ia menyambangi lebih dari 10 panti asuhan. Ia
membagikan uang tersebut secara cuma-cuma. Setalah uangnya habis ia melajukan kembali
motornya ke tujuannya semula, kantor Pak Hartanto.
Sampai di depan pintu masuk, satpam yang tak asing lagi mukanya bagi Herman
menyapanya.
“Siang, mas.” kata satpam tersebut.
“Siang, pak.”
“Loh kok tasnya kosong, mas? Biasanya gendut.”
“Ada lah pak. Hehehe.”
Herman langsung bergegas pergi ke ruangan Pak Hartanto biasanya berdiam diri.
Pada siang hari ini biasanya ia sedang bercumbu dengan gadis-gadis bayaran di
dalam ruangannya. Penjaga di depan ruangannya mebiarkan Herman masuk. Benar
saja, ketika Herman membuka pintu, bosnya sedang mendesah keenakan karena
sedang dilayani oleh para gadis-gadisnya.
“Ini dia. Kemana aja lu?! Dari tadi gue tunggu.” tanya Pak Hartanto.
“Ya mengambil uang seperti yang bapak suruh,”
“Mana sini cepet kesiniin!” suruh Pak Hartanto lantang.
Selagi Pak Hartano dilayani oleh gadis-gadis bayarannya, Herman memberikan
sebuah struk ke meja yang ada di depan Pak Hartanto.
“Lah. Mana duitnya?!!!” tanya Pak Hartanto.
“Udah gua bagi-bagiin ke yang lebih berhak. Dasar lu penjilat, tukang maen
jablay.”
“Beraninya lu!!!!”
Tak lama Herman mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tasnya, dan
menembakkannya kepada 3 orang yang ada di depannya. Suara pistol tersebut
terdengar nyaring hingga membuat penjaga di depan ruangan yang dari tadi
menunggu itu masuk ke dalam. Ia melihat Herman menggenggam pistol yang masih
berasap dan tiga orang yang tersungkur di lantai.
Kini, duduklah seorang Herman di dalam ruangan sempit 3x3 meter. Lapas
Cipinang menjadi tempat untuk Herman menjalani sisa hidupnya setelah 2 minggu
yang lalu menembak 3 orang, yang salah salah satunya adalah bosnya sendiri. Ia
diadili dan dimasukkan ke dalam penjara dengan hukuman penjara seumur hidup.
Herman duduk dan menyeringai di sudut ruangannya. Senyumannya
berbau sinis. Ia puas telah membunuh bajingan bengis. 7 tahun lebih ia bekerja
kepadanya, dan sekarang ia telah membunuhnya.