Senin, 30 Maret 2015

Flash Fiction (Fiksimini)

Oleh: Zajran
Begal

Seorang pengendara motor matic melewati sebuah jalan yang sepi di daerah Sasak Panjang. Tiba-tiba terlihat sepasang pengendara motor lainnya. Salah satu dari mereka membawa pedang tajam. Tak butuh waktu lama, kepala pengendara motor matic itu terpisah dari tubuhnya.

Isi Kepala

Hujan turun sangat deras malam itu. Seorang lelaki melajukan motornya dengan sangat cepat. Ban motornya tergelincir dan ia terjatuh. Truk pengangkut pasir lewat tepat setelah lelaki tersebut jatuh. Isi kepala lelaki tersebut berhamburan di jalanan, dibasuh dengan air hujan.

Senin, 23 Maret 2015

Tugas Herman

Oleh: Zajran


2 minggu yang lalu, seorang pria kurus yang kira-kira beratnya 52 kg sedang tidur-tiduran di bangku taman di Taman Kota, Tangerang. Ia adalah Herman. Ia sedang beristirahat pada jam kerjanya. Maklumlah, kerjaannya adalah pesuruh bos besar perusahaan pajak di negri ini. Angin tidak berhembus terlalu kencang tetapi bisa membuat sejuk para pengunjung taman. Kira-kira siang itu pukul 1.

Ponsel Herman bergetar. Tempampang nama “Pak Hartanto” di layar ponselnya.

“Assalamualaikum, selamat siang, Pak.” tanya Herman.

“Cepet lu ambil duit gua di Bank terdeket soalnya Mr. Ali udah ngirim duit gw dari seminggu yang lalu! Mustahil kalo belom sampe.”

“Berapa jumlah uangnya, Pak?”

“1 milyar!”

Sebelum Herman mengucap salam, bosnya yang seorang keturunan Cina ini menutup panggilan tersebut.

Herman melongok ke arah tas yang sedari tadi ia gunakan sebagai bantal untuk tiduran, tas alpina merah besar dengan banyak sleting. Tas ini adalah pemberian bapaknya ketika Herman ikut mendaki Gunung Rinjani tahun lalu.

Herman bergegas pergi ke parkiran. Ia mencari motor cina butut miliknya. Motor tersebut sangat kotor, layaknya motor tukang antar air mineral galon dari rumah ke rumah.

Tak butuh waktu lama, Herman telah menemukan Bank disekitaran kota tersebut. Herman bergegas masuk menuju meja para teller bank bekerja. Ia sengaja memilih seorang teller wanita untuk digoda. Ia melihat papan nama yang terdapat pada dada busung wanita itu, namanya adalah Hilda.

“Selamat siang, mbak Hilda.” sapa Herman.

“Siang, Bapak. Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”

“Bisakah saya berbicara dengan atasan mbak cantik ini?”

“Atas nama siapa ya, Pak?”

“Hartanto, wanita manis.” Jawab Herman dengan lenjeh.

Hilda merasa canggung dan tidak suka dengan perilaku Herman.

“Baiklah, tunggu sebentar ya.” jawab hilda dengan sinis.

“Oke, wanitaku.”

Mata Hilda melotot melihat ke arah Herman. Ia merasa geli seperti ada ulat yang berlalu-lalang di lehernya.

Sambil menunggu, Herman melihat ke arah televisi. Kebetulan, siang itu adalah jamnya berita-berita nasional ditayangkan. Salah satu channel memberitakan bahwa barang-barang dan bahan makanan pokok harganya merangsek naik. Hal ini diakibatkan oleh naiknyab harga bahan bakar minyak. Nilai rupiah pun ikutan anjlok. Tingkat kemiskinan di negri ini pun kian naik pula ke tahap yang ekstrem.

Setelah selama 2 jam menunggu, ada dua orang memakai jas setelan menghampiri Herman. Mereka mengajak Herman untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Sesampainya di ruangan tersebut, Herman terkaget dengan uang yang berhamburan di atas meja coklat. Uang itu banyak sekali jumlahnya.

“Saya adalah utusan Pak Hartanto di Bank ini,” salah satu dari mereka berkata.

“Saya adalah pesuruhnya, Pak,”

“Pak Hartanto sudah menelpon tadi bahwa akan ada anak buahnya yang datang untuk menjemput uang ini. Ini bukti struknya.” kata yang salah satunya sambil memberikan sebuah struk yang berisikan angka-angka.

“Oke, Pak.”

Herman langsung memasukan uang-uang tersebut ke dalam tas besarnya hingga tas alpina tersebut penuh sesak seperti orang yang ingin mendaki gunung. Herman bergegas meninggalkan ruangan. Ia mendengarkan lagu selagi mengendarai motor cina bututnya dengan menggunakan headset. Kebetulan sekali lagu yang sedang dimainkan adalah minority-nya Green Day. Niatan buruk terlintas di kepala Herman. Ia berpikir dengan uang sebegini banyak dapat setidaknya membantu beberapa orang miskin dan beberapa panti asuhan.

Ketika sampai di depan lampu merah BSD Mall, Herman memutar balikkan motornya. Tekadnya sudah buat. Ia akan menghabiskan uang 1 milyar ini untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin dan panti asuhan. Jika Herman melihat orang miskin yang sedang berada di pinggir jalan, ia langsung melempari orang miskin tersebut dengan duit segepok layaknya tukang korang yang melempari korannya dari rumah ke rumah. Ia menyambangi lebih dari 10 panti asuhan. Ia membagikan uang tersebut secara cuma-cuma. Setalah uangnya habis ia melajukan kembali motornya ke tujuannya semula, kantor Pak Hartanto.

Sampai di depan pintu masuk, satpam yang tak asing lagi mukanya bagi Herman menyapanya.

“Siang, mas.” kata satpam tersebut.

“Siang, pak.”

“Loh kok tasnya kosong, mas? Biasanya gendut.”

“Ada lah pak. Hehehe.”
 
Herman langsung bergegas pergi ke ruangan Pak Hartanto biasanya berdiam diri. Pada siang hari ini biasanya ia sedang bercumbu dengan gadis-gadis bayaran di dalam ruangannya. Penjaga di depan ruangannya mebiarkan Herman masuk. Benar saja, ketika Herman membuka pintu, bosnya sedang mendesah keenakan karena sedang dilayani oleh para gadis-gadisnya.

“Ini dia. Kemana aja lu?! Dari tadi gue tunggu.” tanya Pak Hartanto.

“Ya mengambil uang seperti yang bapak suruh,”

“Mana sini cepet kesiniin!” suruh Pak Hartanto lantang.

Selagi Pak Hartano dilayani oleh gadis-gadis bayarannya, Herman memberikan sebuah struk ke meja yang ada di depan Pak Hartanto.

“Lah. Mana duitnya?!!!” tanya Pak Hartanto.

“Udah gua bagi-bagiin ke yang lebih berhak. Dasar lu penjilat, tukang maen jablay.”

“Beraninya lu!!!!”
 
Tak lama Herman mengeluarkan sebuah pistol dari dalam tasnya, dan menembakkannya kepada 3 orang yang ada di depannya. Suara pistol tersebut terdengar nyaring hingga membuat penjaga di depan ruangan yang dari tadi menunggu itu masuk ke dalam. Ia melihat Herman menggenggam pistol yang masih berasap dan tiga orang yang tersungkur di lantai.

Kini, duduklah seorang Herman di dalam ruangan sempit 3x3 meter. Lapas Cipinang menjadi tempat untuk Herman menjalani sisa hidupnya setelah 2 minggu yang lalu menembak 3 orang, yang salah salah satunya adalah bosnya sendiri. Ia diadili dan dimasukkan ke dalam penjara dengan hukuman penjara seumur hidup.

Herman duduk  dan menyeringai di sudut ruangannya. Senyumannya berbau sinis. Ia puas telah membunuh bajingan bengis. 7 tahun lebih ia bekerja kepadanya, dan sekarang ia telah membunuhnya.

Minggu, 22 Maret 2015

Soal Cinta

Karya: Zajran


Kalau ditanya soal cinta,
Aku bukan jagonya.
Aku sukanya tidur, bermain bola,
Dan berhura-hura.

Tapi aku ingat
Seorang wanita bak malaikat.
Senyumnya manis, kulitnya coklat.
Berlalu-lalang di lantai empat.

Waktu itu Ia berbaju hijau
Terang pas dengan kemarau.
Suaranya kecil terkesan parau.
Ketika Ia melihat ku, aku terasa melow.

Saat itu aku belum kenal sastra.
Aku hanya mengatakan aku suka Ia.
Tak ku sangka-sangka
Ia juga mengatakan suka.

Kini setahun lebih telah berlalu.
Cintaku kian menggebu-gebu.
Langit kelabu berubah menjadi biru.
Walau masalah datang dan pergi, aku tak ragu.

Kalau ditanya soal cinta,
Kini aku punya jawabnya.
Kalau kau tanya namanya,
Ia adalah Reyuna.