Senin, 11 Mei 2015

Angin

Karya: Zajran 

jika di tengah jalan
kau dicumbu oleh angin yang tak sempat kau sapa
katakan dalam hati:
“aku juga merindukannya.”

Senin, 04 Mei 2015

Suburban

Oleh: Zajran


“Panas sekali siang ini!” gumamku. Panasnya mampu menembus sampai ke tulang-tulang hingga para lalat pun enggan untuk beterbangan di atas genangan air kotor maupun tempat sampah. Debu-debu membentuk serangkaian molekul kasat mata di udara. Aku menengadah. Langit tak pernah berdusta. Ia selalu biru dengan bagusnya pada siang ini. Awan pun begitu. Putih, bersih, berjalan perlahan mengikuti arah angin di atas sana. Aneh, keadaan hectic di bumi ini terjadi pada bulan yang biasanya turun hujan dengan derasnya.
Lahan yang dulunya merupakan tanah lapang yang dijadikan oleh aku dan teman-temanku tempat bermain bola sekarang dibeton. Dijadikan komplek-komplek perumahan yang katanya minimalis? Tanah yang berwarna merah di sekitarnya retak-retak seperti kekurangan air. Di mana hujan yang katanya selalu turun ketika kita membutuhkan? Lamunanku tersadarkan oleh suara peluit tukang parkir yang sedang mengarahkan sebuah truk keluar menuju jalanan. Suaraya memekakkan telinga. Aku tancapkan kembali sepeda motorku setelah macet kecil tadi.
Aku sengaja mengambil jalan ke dalam gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh maksimalnya 3 motor. Rumah-rumah di gang tersebut sekarang persis seperti gedung pencakar langit jika bagi semut. Hampir seluruhnya lebih dari 1 lantai. Heran, padahal dulunya gang ini hanya padang ilalang yang rumputnya sering aku jadikan maianan ketika aku kecil. Ya, aku yakin sekali akan hal itu. Dulu banyak bebatuan pejal yang tersebar secara acak di padang ilalang ini. Mereka tak pernah hancur digempur hujan. Tapi sekarang mereka sudah hilang. Hebat sekali orang-orang sekarang, mampu menyingkirkan bebatuan yang sebegitu pejalnya dan aku yakin sekali batu itu pasti sangatlah berat!
Daerah ini dulunya sangat dikenal dengan kesejukannya. Pikiranku melayang ke masa kecil. Aku ingat pertama kali ketika pindah ke sini dari Jakarta pada tahun 1990. Ayahku mengatakan bahwa di tempat yang baru nanti aku akan bisa melakukan hal-hal perkebunan selayaknya mimpi anak-anak urban. Berkebun, bermain lumpur, dan juga melihat petani-petani yang sedang membajak sawahnya. Pikiran liar masa kecilku berimajinasi dengan senangnya ketika mendengar hal tersebut.
Ternyata daerah ini tidak terlalu jauh dari Jakarta. Hanya membutuhkan waktu 3 kali tidur sambil merengek di dalam mobil panas tanpa pendingin milik keluargaku. Kalau dihitung menggunakan waktu yang pasti kira-kira sekitar 2 jam. Ketika sampai, Ibu membangunkan dengan memercikan air dengan maksud menyegarkan ku. Ketika aku mebuka mata, Ayah dan Ibu mulai membuka pintu mobil dan turun. Akupun ikut turun dan berdiri di depan sebuah rumah. Rumah yang kokoh. Di sebelahnya terdapat pohon-pohon liar yang menjalar dengan kacaunya.
“Kita mendapatkan PR besar bu, nak”, kata Ayah sambil menunjuk ke arah pohon-pohon liar tersebut.
“Apa nama tempat ini, bu?” tanya ku pada Ibu.
“Setau Ibu namanya adalah Suburban. Itu juga kalau tidak salah”.
Aku hanya berdiri melongo. Memori tersebut tejadi begitu cepat di dalam pikiranku. Ternyata aku sedang berdiri persis ketika 23 tahun yang lalu aku menginjakkan kakiku pertama kali di daerah pinggiran Jakarta ini.
Dulu hanya ada beberapa rumah yang berdiri di dekat rumahku. Sekarang hampir ada 70 rumah di dalam gang yang panjangnya kurang lebih 100 meter ini. Bayangkan, 70 Rumah dalam gang sesempit ini! Pantas saja kami selalu kekurangan air jika musim panas tiba.
Jumlah penduduk di Suburban semakin hari semakin bertambah. Berbagai bangunan memejalkan berbagai tempat di semua sisi. Aku tahu mengapa orang-orang ingin sekali tinggal di sini. Pasti karena tempatnya yang strategis, dekat dengan Jakarta. Sementara orang-orang tersebut akan mencari pekerjaan di Jakarta dengan slogannya yang mengatakan “Jakarta adalah surganya lapangan pekerjaan. Datanglah dan buktikan!” Aku kira hal itu susah untuk dibuktikan. Aku saja bekerja sebagai kurir jasa antar barang di Jakarta. Lantas di mana bentuk “surga” yang katanya kita bisa buktikan di Jakarta?
Aku mengurungkan niat untuk pulang ke rumah. Aku takut Ayah dan Ibu kecewa mendengar aku sedang bolos kerja. Aku malas sekali pergi kerja hari ini. Aku berniat pergi menuju warung kopi yang biasa dijadikan tempat bolos anak sekolah. Anak sekolah bolos. Pergi ke warung kopi untuk sekadar bercanda dengan temannya dan minum kopi sambil merokok adalah hal yang lumrah saat ini.
Azan zuhur berkumandang ketika aku sedang berada di tengah jalan menuju warung kopi. Masjidnya terletak di samping Pasar Raya Suburban. Masjid yang besar dengan kubahnya yang mewah. Tapi ada yang aneh siang itu. Orang-orang sangatlah ramai di pasar tersebut. Mereka tidak menghiraukan suara azan sama sekali yang datangnya dari masjid di sebelah mereka. Mereka malah asyik dengan kegiatannya masing-masing. Lalu ada hal aneh lainnya. Suara azannya tidak semerdu azan-azan yang ada di berbagai stasiun televisi. Ternyata yang azan di masjid tersebut adalah seorang kakek yang sudah sangat tua renta. Dia terengah-engah ketika menumandangkan azannya. Dengan alat pengeras suara, suara serak dan deru napasnya terdengar sangat jelas. Karena merasa iba akupun membelokkan arah ke masjid tersebut.
Setelah selesai wudu aku masuk ke dalam masjid tersebut. Luas sekali bagian dalamnya. Setelah selesai azan, kakek tua tersebut berselawat sambil menunggu jamaah yang lain datang. Suaranya masih serak seperti kurang minum. 15 menit ia bershalawat tak ada satu jamaah tambahan pun yang datang. Hanya kami berdua. Padahal pengeras suara di masjid itu mampu mencapai jarak ratusan meter di sekitarnya. Kemudian ia berdiri. “Untung ada elu, cu. Kalo kaga ada mah baba qomat sendiri, sholat sendiri.” Ia menyuruhku untuk untuk iqamat sambil memberikan microphone kepada ku. Kami salat dengan khidmat. Sejuk sekali sehingga aku lupa bahwasannya hari ini begitu panas.
Setelah selesai salat kami berdua berbincang-bincang sedikit di teras masjid tersebut. Kotak amal yang ada di masjid itu sangat sedikit isinya. Berisi recehan logam dan uang-uang kertas yang sudah lusuh.
Akhirnya aku tidak jadi pergi ke warung kopi dan kembali menuju rumah. Ketika sampai di rumah, Ayah dan Ibu sedang menonton televisi berdua. Ayah memang sudah lama tidak berkerja lagi karena sakit stroke yang dideritanya. Mereka tidak sadar ketika aku pulang dan masuk ke dalam rumah. Ketika aku menghampiri mereka dan melihat ke arah televisi, aku terkejut. “Beli! Beli! Beli! Suburban adalah tempat terbaik untuk ditinggali! Dekat dengan Jakarta! Beli rumah minimalis dan dapatkan cicilan dengan harga murah. Tunggu apalagi, harga akan naik minggu depan!”