Oleh: Zajran
“Panas sekali siang ini!” gumamku. Panasnya mampu
menembus sampai ke tulang-tulang hingga para lalat pun enggan untuk beterbangan
di atas genangan air kotor maupun tempat sampah. Debu-debu membentuk
serangkaian molekul kasat mata di udara. Aku menengadah. Langit tak pernah
berdusta. Ia selalu biru dengan bagusnya pada siang ini. Awan pun begitu.
Putih, bersih, berjalan perlahan mengikuti arah angin di atas sana. Aneh,
keadaan hectic di bumi ini terjadi
pada bulan yang biasanya turun hujan dengan derasnya.
Lahan yang dulunya merupakan tanah lapang yang dijadikan
oleh aku dan teman-temanku tempat bermain bola sekarang dibeton. Dijadikan
komplek-komplek perumahan yang katanya minimalis? Tanah yang berwarna merah di
sekitarnya retak-retak seperti kekurangan air. Di mana hujan yang katanya
selalu turun ketika kita membutuhkan? Lamunanku tersadarkan oleh suara peluit
tukang parkir yang sedang mengarahkan sebuah truk keluar menuju jalanan. Suaraya
memekakkan telinga. Aku tancapkan kembali sepeda motorku setelah macet kecil
tadi.
Aku sengaja mengambil jalan ke dalam gang-gang kecil yang
hanya bisa dilewati oleh maksimalnya 3 motor. Rumah-rumah di gang tersebut
sekarang persis seperti gedung pencakar langit jika bagi semut. Hampir
seluruhnya lebih dari 1 lantai. Heran, padahal dulunya gang ini hanya padang
ilalang yang rumputnya sering aku jadikan maianan ketika aku kecil. Ya, aku
yakin sekali akan hal itu. Dulu banyak bebatuan pejal yang tersebar secara acak
di padang ilalang ini. Mereka tak pernah hancur digempur hujan. Tapi sekarang
mereka sudah hilang. Hebat sekali orang-orang sekarang, mampu menyingkirkan
bebatuan yang sebegitu pejalnya dan aku yakin sekali batu itu pasti sangatlah
berat!
Daerah ini dulunya sangat dikenal dengan kesejukannya.
Pikiranku melayang ke masa kecil. Aku ingat pertama kali ketika pindah ke sini
dari Jakarta pada tahun 1990. Ayahku mengatakan bahwa di tempat yang baru nanti
aku akan bisa melakukan hal-hal perkebunan selayaknya mimpi anak-anak urban.
Berkebun, bermain lumpur, dan juga melihat petani-petani yang sedang membajak
sawahnya. Pikiran liar masa kecilku berimajinasi dengan senangnya ketika
mendengar hal tersebut.
Ternyata daerah ini tidak terlalu jauh dari Jakarta.
Hanya membutuhkan waktu 3 kali tidur sambil merengek di dalam mobil panas tanpa
pendingin milik keluargaku. Kalau dihitung menggunakan waktu yang pasti
kira-kira sekitar 2 jam. Ketika sampai, Ibu membangunkan dengan memercikan air
dengan maksud menyegarkan ku. Ketika aku mebuka mata, Ayah dan Ibu mulai
membuka pintu mobil dan turun. Akupun ikut turun dan berdiri di depan sebuah
rumah. Rumah yang kokoh. Di sebelahnya terdapat pohon-pohon liar yang menjalar
dengan kacaunya.
“Kita mendapatkan PR besar bu, nak”, kata Ayah sambil
menunjuk ke arah pohon-pohon liar tersebut.
“Apa nama tempat ini, bu?” tanya ku pada Ibu.
“Setau Ibu namanya adalah Suburban. Itu juga kalau tidak
salah”.
Aku hanya berdiri melongo. Memori tersebut tejadi begitu
cepat di dalam pikiranku. Ternyata aku sedang berdiri persis ketika 23 tahun
yang lalu aku menginjakkan kakiku pertama kali di daerah pinggiran Jakarta ini.
Dulu hanya ada beberapa rumah yang berdiri di dekat
rumahku. Sekarang hampir ada 70 rumah di dalam gang yang panjangnya kurang
lebih 100 meter ini. Bayangkan, 70 Rumah dalam gang sesempit ini! Pantas saja
kami selalu kekurangan air jika musim panas tiba.
Jumlah penduduk di Suburban semakin hari semakin
bertambah. Berbagai bangunan memejalkan berbagai tempat di semua sisi. Aku tahu
mengapa orang-orang ingin sekali tinggal di sini. Pasti karena tempatnya yang
strategis, dekat dengan Jakarta. Sementara orang-orang tersebut akan mencari
pekerjaan di Jakarta dengan slogannya yang mengatakan “Jakarta adalah surganya
lapangan pekerjaan. Datanglah dan buktikan!” Aku kira hal itu susah untuk
dibuktikan. Aku saja bekerja sebagai kurir jasa antar barang di Jakarta. Lantas
di mana bentuk “surga” yang katanya kita bisa buktikan di Jakarta?
Aku mengurungkan niat untuk pulang ke rumah. Aku takut
Ayah dan Ibu kecewa mendengar aku sedang bolos kerja. Aku malas sekali pergi
kerja hari ini. Aku berniat pergi menuju warung kopi yang biasa dijadikan
tempat bolos anak sekolah. Anak sekolah bolos. Pergi ke warung kopi untuk sekadar
bercanda dengan temannya dan minum kopi sambil merokok adalah hal yang lumrah
saat ini.
Azan zuhur berkumandang ketika aku sedang berada di
tengah jalan menuju warung kopi. Masjidnya terletak di samping Pasar Raya
Suburban. Masjid yang besar dengan kubahnya yang mewah. Tapi ada yang aneh
siang itu. Orang-orang sangatlah ramai di pasar tersebut. Mereka tidak menghiraukan
suara azan sama sekali yang datangnya dari masjid di sebelah mereka. Mereka
malah asyik dengan kegiatannya masing-masing. Lalu ada hal aneh lainnya. Suara
azannya tidak semerdu azan-azan yang ada di berbagai stasiun televisi. Ternyata
yang azan di masjid tersebut adalah seorang kakek yang sudah sangat tua renta.
Dia terengah-engah ketika menumandangkan azannya. Dengan alat pengeras suara, suara
serak dan deru napasnya terdengar sangat jelas. Karena merasa iba akupun membelokkan
arah ke masjid tersebut.
Setelah selesai wudu aku masuk ke dalam masjid tersebut.
Luas sekali bagian dalamnya. Setelah selesai azan, kakek tua tersebut
berselawat sambil menunggu jamaah yang lain datang. Suaranya masih serak
seperti kurang minum. 15 menit ia bershalawat tak ada satu jamaah tambahan pun
yang datang. Hanya kami berdua. Padahal pengeras suara di masjid itu mampu mencapai
jarak ratusan meter di sekitarnya. Kemudian ia berdiri. “Untung ada elu, cu.
Kalo kaga ada mah baba qomat sendiri, sholat sendiri.” Ia menyuruhku untuk
untuk iqamat sambil memberikan microphone
kepada ku. Kami salat dengan khidmat. Sejuk sekali sehingga aku lupa
bahwasannya hari ini begitu panas.
Setelah selesai salat kami berdua berbincang-bincang
sedikit di teras masjid tersebut. Kotak amal yang ada di masjid itu sangat
sedikit isinya. Berisi recehan logam dan uang-uang kertas yang sudah lusuh.
Akhirnya aku tidak jadi pergi ke warung kopi dan kembali
menuju rumah. Ketika sampai di rumah, Ayah dan Ibu sedang menonton televisi
berdua. Ayah memang sudah lama tidak berkerja lagi karena sakit stroke yang
dideritanya. Mereka tidak sadar ketika aku pulang dan masuk ke dalam rumah.
Ketika aku menghampiri mereka dan melihat ke arah televisi, aku terkejut. “Beli!
Beli! Beli! Suburban adalah tempat terbaik untuk ditinggali! Dekat dengan
Jakarta! Beli rumah minimalis dan dapatkan cicilan dengan harga murah. Tunggu
apalagi, harga akan naik minggu depan!”