Sabtu, 13 Juni 2015

Postrukturalisme: Teori Dekonstruksi Jacques Derrida




There is nothing outside the text
 – Jacques Derrida


Postrukturalisme
Postrukturalisme merupakan sebuah kelanjutan dari strukturalisme. Secara pengertian yang jelas dan kasar, postrukturalisme adalah sebuah pemberontakan terhadap teori strukturalisme. Hal ini disebabkan oleh adanya kelemahan dan ketidaksempurnaan dalam teori strukturalisme yang dirasakan oleh para kaum postrukturalis.
Berbicara soal strukturalisme tidak akan lepas dari yang namanya bahasa dan linguistik. Strukturalisme berusaha untuk menemukan struktur umum, memberikan perhatian pada sistem yang pada umumnya mengambil titik tolak terhadap oposisi biner yang dikemukakan oleh Saussure, seperti: signifant dan signifie, parole dan langue, sinkroni dan diakroni (Nyoman Kutha Ratna, 2007: 144). Oposisi biner dalam linguistik ini mengakibatkan istilah yang pertama meiliki sifat superior dibandingkan dengan yang kedua, yang terkesan seperti inferior. Sudut pandang strukturalisme juga mengemukakan bahwa bahasa itu dibangun secara terstruktur dan sistematis. Signifant dan signifie,sebagai penanda dan petanda melahirkan sebuah tanda yang mana tanda ini diatur dalam sistem bahasa. Bahakan ada pendapat bahwa bahasa dapat membentuk dunia dan juga ‘mendoktrin’ bagaimana cara kita melihat sesuatu. Artinya kita telah memberikan hak atau sebuah makna yang andal terhadap suatu bahasa melalui sebuah tandatersebut atau kata.
Bagi kaum postrukturalis, strukturalisme memiliki kelamahan dan ketidakstabilan yang sangat laten di dalamnya. Peter Barry menjelaskannya dalam sebuah analogi; jika kita berada di ruang angkasa dimana tidak ada gravitasi, tidak ada atas bawah, kita tidak akan bisa menentukan bagaimana caranya untuk naik. Sehingga bagi kaum postrukturalis dunia ini adalah alam semesta tanpa pusat. Di alam semesta ini kita tak bisa tahu di mana kita berada, karena semua konsep yang sebelumnya mendefinisikan pusat tersebut, dan berarti juga pinggir alam semesta, telah ‘didekonstruksi’, atau dilemahkan (Peter Barry, 2010: 72).
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Ratna (2007: 143-144), bahwa kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasikan sebagai berikut: a) model analisis strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan atas struktur dan sistem tertentu, b) strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian terhadap katya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca, c) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Salah satu teori yang lahir pada masa postrukturalisme adalah teori dekonstruksi. Teori ini muncul pada era postmodern, yang mana era ini ditandai dengan dominasi informasi dengan simbol komputer. Postmodernisme muncul pada tahun 1960-1990. Teori dekonstruksi memberikan pengertian bahwa makna itu tidaklah stabil. Teori ini lahir atas dasar sifat manusia yang selalu bertanya-tanya, atau dalam Peter Barry disebut “skeptisisme linguistik radikal”. Salah satu tokoh yang paling berpengaruh adalah Jacques Derrida. Akibat dari teori ini, banyak bermunculan teori-teori lain seperti teori feminisme, Marxis, postkolonialisme, dan lain-lain.
Dekonstruksi
Jacques Derrida (1930-2004) adalah seorang Yahudi yang lahir di Aljazair. Pada umur 19 tahun ia pergi ke Perancis sebagai seorang mahasiswa. Pada tahun 1956-1957 ia datang ke Harvard dalam program scholarship, dan pada tahun 1975 ia mengajar di Yale University.Ia kemudian menjadi seorang ahli filsafat dan kritik sastra, tetapi ia tidak ingin disebut seperti itu. Konsep dekonstruksi Derrida mulai dikenal melalui makalahnya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” pada tahun 1966. Di dalam makalah ini, tulisan Derrida sangat terasa unsur filsafat Nietzche dengan ungkapannya yang terkenal, “Fakta itu tidak ada, yang ada hanya interpretasi”, hingga menghasilkan suatu peristiwa ‘penghilangan pusat’ dalam suatu kebenaran intelektual. Teori dekonstruksi dipioniri oleh tulisannya pada tahun 1967 yang berjudul Of Grammatology, yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa inggris oleh Gayatri Chakravorty Spivak.
Melalui dekonstruksinya, Derrida mematahkan beberapa konsep linguistik Saussurean. Ia (dalam Ratna, 2007: 222) mengemukakan secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis.
Pengertian lain mengenai dekonstruksi adalah sebuah strategi membaca. Dekonstruksi dijadikan sebagai cara atau metode dalam memahami sebuah teks, ‘menelanjangi’ struktur teks, menginterpretasi makna teks hingga ke berbagai kemungkinan dan melawan sifat makna atau kebenaran tunggal. Sehingga makna teks tersebut bermuatan filosofis. Pembacaan dekonstruktif menyoroti ruang-ruang gelap dan berusaha menemukan makna dari ruang gelap itu yang turut membangun struktur teks tersebut.
Logosentrisme
            Logosentrisme berakar pada kata Logos. C. H. Dodd (dalam M. A. R. Habib, 2005: 650) menjelaskan bahwa logos sendiri berarti konsep atau pikiran dan sebuah kata. Kata ini juga ditemukan dalam kultur bahasa Hebrew yang berarti ‘berbicara’. Melalui ini bisa disimpulkan bahwa perkataan atau tuturan memiliki nilai kebenaran yang absolut. Dalam konsep ketuhanan juga ditemukan logos dimana perkataan yang disampaikan oleh Tuhan merupakan sebuah kebenaran.
            Dalam ilmu linguistik, logosentrisme juga ditemukan dalam konsep signifant dan signifieatau penanda dan petanda. Kebenaran merupakan sebuah hubungan yang sepadan antara penanda dan petanda sehingga menghasilkan suara/bentuk yang berupa tanda. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tuturan atau perkataan dianakemaskan dan memiliki sifat kebenaran, dan tulisan merupakan yang dipinggirkan. Tuturan dijadikan pusat dalam menentukan kebenaran yang absolut itu sementara tulisan hanya bersifat sekunder, termediasi, dan mewakili. Dalam konsep ini terlihat sekali contoh hierarki yang dimainkan dalam sebuah bahasa.
            Derrida menyangkal atau menolak terhadap konsep logosentrisme ini yang mana bila dipahami secara jelas konsep ini hanya mengambil sikap adanya kebenaran tunggal. Menurut Derrida, tulisan bila dilihat dengan cara lain merupakan hal sudah ada sebelum ucapan oral. Tulisan telah dirangkum dalam pikiran lalu disampaikan melalui ucapan oral. Dapat disimpulkan bahwa dalam hal ini tulisan malah lebih istimewa daripada ucapan. Tulisan mengandung makna yang tidak hanya bersifat tunggal dan hal ini menempatkan di luar jangkauan kebenaran tunggal atau logos.
Differance atau Difference
            Differance atau difference adalah dua kata yang bila diucapkan sama tetapi hanya cara penulisannya saja yang berbeda. Differanceadalah kata Perancis yang berasal dari bahasa Latin, differre, yang berarti to differ (membedakan), dan defer (menunda atau menangguhkan). Untuk menggambarkan konsep tentang differance ini Derrida melihat makna pada tanda dalam sebuah tulisan sebagai trace (jejak). Jejak yang berarti bekas tapak kaki yang harus ditelusuri siapa yang meninggalkan jejak kaki tersebut. Jadi makna yang dihadirkan dalam dalam sebuah tanda tidak memiliki makna yang tunggal, melainkan memiliki makna-makna atau ‘jejak-jejak’ lain yang mengikuti di belakang tanda tersebut. Ratna menganalogikannya seperti tanda ‘merah’ dalam lampu lalu lintas. Tanda ‘merah’ dalam lampu lalu lintas tidak dengan sendirinya berarti berhenti. Ia berarti berhenti hanya dalam relasi aturan lalu lintas, sebagai kebiasaan. Oleh karena itu makna tidak secara langsung hadir dalam tanda (Ratna, 2007: 226).
            Melalui konsep differance ini, Derrida menolak sekaligus mematahkan terhadap adanya petanda atau makna absolut, makna universal, yang dianut oleh paham linguistik Saussurean. Menurut Derrida, tulisan lebih utama ketimbang tuturan. Tanda dalam tulisan memiliki aturan atau konsep dalam differance. Tanda-tanda dalam tulisan selalu mengimplikasikan makna, sehingga makna dalam tulisan atau karya sastra selalu berbeda dan tertunda, tidak seperti tuturan yang bersifat terstruktur. Tanda dalam karya sastra selalu meninggalkan celah dalam setiap jejaknya, sehingga pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah makna satu didapat, ternyata makna yang lain masih bisa mungkin terjadi.
Oposisi Biner
            Dalam liguistik juga dikenal dengan yang namanya oposisi biner. Oposisi biner adalah unit-unit dalam bahasa yang selalu bertentangan dalam konsep makna, tetapi selalu jalan berdampingan. Contoh oposisi biner yang mudah adalah antara kaya dan miskin. Kita tidak akan bisa mengetahui makna dari konsep ‘kaya’ jika kita tidak mengetahui konsep dari makna ‘miskin’. Jadi bisa diartikan bahwa ‘kaya’ adalah tidak miskin, sementara ‘miskin’ adalah bukan kaya. Dalam ilmu linguistik, oposisi biner juga terlihat dalam konsep penanda/petanda, tuturan/tulisan, langue/parole.
            Oposisi biner menghasilkan sesuatu yang bersifat hierarkis, yang mana istilah-istilah pertama lebih superior dibanding yang kedua. Istilah-istilah yang kedua hanya merupakan representasi yang berlawanan dari istilah pertama, atau bersifat inferior. Yang pertama lebih mendominasi, sementara yang kedua didominasi oleh yang pertama. Derrida menentang konsep menjadikan yang pertama lebih superior dibanding yang kedua. Yang kedua bukan berarti tidak penting dan tidak memiliki kekuatan. Terkadang justru yang kedua malah mempunyai kekuatan untuk menentukan atau ‘menyetir’ yang pertama. Jika tidak ada yang kedua, yang pertama tidak akan ada.
Dekonstruksi merupakan cara membaca yang bertujuan untuk membuka makna-makna hingga ke tempat tanpa batas, menunjukan bahwa makna dari teks bisa saja berarti lain dari yang selama ini telah diartikan. Dalam melakukan pembacaan dekonstruktif, pembaca harus melihat kepada oposisi biner dan sifat-sifat hierarkis dalam teks, dan menganalisis apa yang ‘dimarjinalkan’ dalam teks, dan juga memberikan perhatian kepada ironi, ambiguitas, konflik, paradoks, dan juga pengulangan-pengulangan dalam teks. Teori dekonstruksi menyoroti hal-hal yang selama ini tidak dilihat keberadaannya, dan ternyata hal tersebut adalah ruang-ruang gelap yang turut serta membangun teks.



Pustaka Acuan

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Diterjemahkan dari Beginning Theory, and Introduction to Literary and Cultural Theory oleh Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra.

Bertens, Hans. 2008. Literary Theory: The Basics. London dan New York: Taylor & Francis.

Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology. Baltimore: John Hopkins University Press.

Habib, M. A. R. 2005. A History of Literary Criticism. Cornwall: Blackwell Publishing.

Muzir, Inyiak Ridwan. 2002. Pengantar Penerjemah dari penerjemahanDeconstruction: Theory and Practice Christopher Norris. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Diterjemahkan dari Deconstruction: Theory and Practice oleh Inyiak Ridwan Muzir. Jogjakarta: Ar-Ruzz.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spivak, Gayatri Chakravorty. 1997. Translator’s Preface dari penerjemahan Of Grammatology Jacques Derrida. Baltimore: John Hopkins University Press.

Senin, 11 Mei 2015

Angin

Karya: Zajran 

jika di tengah jalan
kau dicumbu oleh angin yang tak sempat kau sapa
katakan dalam hati:
“aku juga merindukannya.”

Senin, 04 Mei 2015

Suburban

Oleh: Zajran


“Panas sekali siang ini!” gumamku. Panasnya mampu menembus sampai ke tulang-tulang hingga para lalat pun enggan untuk beterbangan di atas genangan air kotor maupun tempat sampah. Debu-debu membentuk serangkaian molekul kasat mata di udara. Aku menengadah. Langit tak pernah berdusta. Ia selalu biru dengan bagusnya pada siang ini. Awan pun begitu. Putih, bersih, berjalan perlahan mengikuti arah angin di atas sana. Aneh, keadaan hectic di bumi ini terjadi pada bulan yang biasanya turun hujan dengan derasnya.
Lahan yang dulunya merupakan tanah lapang yang dijadikan oleh aku dan teman-temanku tempat bermain bola sekarang dibeton. Dijadikan komplek-komplek perumahan yang katanya minimalis? Tanah yang berwarna merah di sekitarnya retak-retak seperti kekurangan air. Di mana hujan yang katanya selalu turun ketika kita membutuhkan? Lamunanku tersadarkan oleh suara peluit tukang parkir yang sedang mengarahkan sebuah truk keluar menuju jalanan. Suaraya memekakkan telinga. Aku tancapkan kembali sepeda motorku setelah macet kecil tadi.
Aku sengaja mengambil jalan ke dalam gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh maksimalnya 3 motor. Rumah-rumah di gang tersebut sekarang persis seperti gedung pencakar langit jika bagi semut. Hampir seluruhnya lebih dari 1 lantai. Heran, padahal dulunya gang ini hanya padang ilalang yang rumputnya sering aku jadikan maianan ketika aku kecil. Ya, aku yakin sekali akan hal itu. Dulu banyak bebatuan pejal yang tersebar secara acak di padang ilalang ini. Mereka tak pernah hancur digempur hujan. Tapi sekarang mereka sudah hilang. Hebat sekali orang-orang sekarang, mampu menyingkirkan bebatuan yang sebegitu pejalnya dan aku yakin sekali batu itu pasti sangatlah berat!
Daerah ini dulunya sangat dikenal dengan kesejukannya. Pikiranku melayang ke masa kecil. Aku ingat pertama kali ketika pindah ke sini dari Jakarta pada tahun 1990. Ayahku mengatakan bahwa di tempat yang baru nanti aku akan bisa melakukan hal-hal perkebunan selayaknya mimpi anak-anak urban. Berkebun, bermain lumpur, dan juga melihat petani-petani yang sedang membajak sawahnya. Pikiran liar masa kecilku berimajinasi dengan senangnya ketika mendengar hal tersebut.
Ternyata daerah ini tidak terlalu jauh dari Jakarta. Hanya membutuhkan waktu 3 kali tidur sambil merengek di dalam mobil panas tanpa pendingin milik keluargaku. Kalau dihitung menggunakan waktu yang pasti kira-kira sekitar 2 jam. Ketika sampai, Ibu membangunkan dengan memercikan air dengan maksud menyegarkan ku. Ketika aku mebuka mata, Ayah dan Ibu mulai membuka pintu mobil dan turun. Akupun ikut turun dan berdiri di depan sebuah rumah. Rumah yang kokoh. Di sebelahnya terdapat pohon-pohon liar yang menjalar dengan kacaunya.
“Kita mendapatkan PR besar bu, nak”, kata Ayah sambil menunjuk ke arah pohon-pohon liar tersebut.
“Apa nama tempat ini, bu?” tanya ku pada Ibu.
“Setau Ibu namanya adalah Suburban. Itu juga kalau tidak salah”.
Aku hanya berdiri melongo. Memori tersebut tejadi begitu cepat di dalam pikiranku. Ternyata aku sedang berdiri persis ketika 23 tahun yang lalu aku menginjakkan kakiku pertama kali di daerah pinggiran Jakarta ini.
Dulu hanya ada beberapa rumah yang berdiri di dekat rumahku. Sekarang hampir ada 70 rumah di dalam gang yang panjangnya kurang lebih 100 meter ini. Bayangkan, 70 Rumah dalam gang sesempit ini! Pantas saja kami selalu kekurangan air jika musim panas tiba.
Jumlah penduduk di Suburban semakin hari semakin bertambah. Berbagai bangunan memejalkan berbagai tempat di semua sisi. Aku tahu mengapa orang-orang ingin sekali tinggal di sini. Pasti karena tempatnya yang strategis, dekat dengan Jakarta. Sementara orang-orang tersebut akan mencari pekerjaan di Jakarta dengan slogannya yang mengatakan “Jakarta adalah surganya lapangan pekerjaan. Datanglah dan buktikan!” Aku kira hal itu susah untuk dibuktikan. Aku saja bekerja sebagai kurir jasa antar barang di Jakarta. Lantas di mana bentuk “surga” yang katanya kita bisa buktikan di Jakarta?
Aku mengurungkan niat untuk pulang ke rumah. Aku takut Ayah dan Ibu kecewa mendengar aku sedang bolos kerja. Aku malas sekali pergi kerja hari ini. Aku berniat pergi menuju warung kopi yang biasa dijadikan tempat bolos anak sekolah. Anak sekolah bolos. Pergi ke warung kopi untuk sekadar bercanda dengan temannya dan minum kopi sambil merokok adalah hal yang lumrah saat ini.
Azan zuhur berkumandang ketika aku sedang berada di tengah jalan menuju warung kopi. Masjidnya terletak di samping Pasar Raya Suburban. Masjid yang besar dengan kubahnya yang mewah. Tapi ada yang aneh siang itu. Orang-orang sangatlah ramai di pasar tersebut. Mereka tidak menghiraukan suara azan sama sekali yang datangnya dari masjid di sebelah mereka. Mereka malah asyik dengan kegiatannya masing-masing. Lalu ada hal aneh lainnya. Suara azannya tidak semerdu azan-azan yang ada di berbagai stasiun televisi. Ternyata yang azan di masjid tersebut adalah seorang kakek yang sudah sangat tua renta. Dia terengah-engah ketika menumandangkan azannya. Dengan alat pengeras suara, suara serak dan deru napasnya terdengar sangat jelas. Karena merasa iba akupun membelokkan arah ke masjid tersebut.
Setelah selesai wudu aku masuk ke dalam masjid tersebut. Luas sekali bagian dalamnya. Setelah selesai azan, kakek tua tersebut berselawat sambil menunggu jamaah yang lain datang. Suaranya masih serak seperti kurang minum. 15 menit ia bershalawat tak ada satu jamaah tambahan pun yang datang. Hanya kami berdua. Padahal pengeras suara di masjid itu mampu mencapai jarak ratusan meter di sekitarnya. Kemudian ia berdiri. “Untung ada elu, cu. Kalo kaga ada mah baba qomat sendiri, sholat sendiri.” Ia menyuruhku untuk untuk iqamat sambil memberikan microphone kepada ku. Kami salat dengan khidmat. Sejuk sekali sehingga aku lupa bahwasannya hari ini begitu panas.
Setelah selesai salat kami berdua berbincang-bincang sedikit di teras masjid tersebut. Kotak amal yang ada di masjid itu sangat sedikit isinya. Berisi recehan logam dan uang-uang kertas yang sudah lusuh.
Akhirnya aku tidak jadi pergi ke warung kopi dan kembali menuju rumah. Ketika sampai di rumah, Ayah dan Ibu sedang menonton televisi berdua. Ayah memang sudah lama tidak berkerja lagi karena sakit stroke yang dideritanya. Mereka tidak sadar ketika aku pulang dan masuk ke dalam rumah. Ketika aku menghampiri mereka dan melihat ke arah televisi, aku terkejut. “Beli! Beli! Beli! Suburban adalah tempat terbaik untuk ditinggali! Dekat dengan Jakarta! Beli rumah minimalis dan dapatkan cicilan dengan harga murah. Tunggu apalagi, harga akan naik minggu depan!”