Karya: Zajran
Kami bisa menjadi apa saja.
menjadi kata, menjadi rupa,
atau menjadi objek kasat mata sekalipun kami bisa.
kami dapat menjelma di setiap saat.
di setiap pidato-pidato yang sedang dibacakan.
atau di orasi-orasi yang keluar dari keringnya kerongkongan.
atau dari toa-toa musholla yang selalu mengagungkan nama tuhan.
atau di tiap larik pada sebuah lagu atau puisi
yang baru atau sudah diciptakan.
ketika kami utuh,
kami akan merasuk ke dalam sukma mu.
dan teriakan kami akan merangsek masuk,
terngiang-ngiang di benak mu.
teriakan itu akan menggema dan akan mengahantui setiap mimpi-mimpi mu.
dan pada setiap malam setelah kau terbangun
dari mimpi-mimpi buruk mu, kami akan berlari mengejar mu.
kami akan melolong seperti serigala malam
yang setiap saat siap menerkam,
yang berharap akan bisa menangkap mu
lalu mengoyak-oyak tubuhmu hinggu kau mengerang kesakitan.
Senin, 06 Juni 2016
Sabtu, 13 Juni 2015
Postrukturalisme: Teori Dekonstruksi Jacques Derrida
“There is nothing
outside the text”
Postrukturalisme
Postrukturalisme
merupakan sebuah kelanjutan dari strukturalisme. Secara pengertian yang jelas
dan kasar, postrukturalisme adalah sebuah pemberontakan terhadap teori
strukturalisme. Hal ini disebabkan oleh adanya kelemahan dan ketidaksempurnaan
dalam teori strukturalisme yang dirasakan oleh para kaum postrukturalis.
Berbicara
soal strukturalisme tidak akan lepas dari yang namanya bahasa dan linguistik. Strukturalisme
berusaha untuk menemukan struktur umum, memberikan perhatian pada sistem yang
pada umumnya mengambil titik tolak terhadap oposisi biner yang dikemukakan oleh
Saussure, seperti: signifant dan signifie, parole dan langue, sinkroni dan diakroni (Nyoman
Kutha Ratna, 2007: 144). Oposisi biner dalam linguistik ini mengakibatkan
istilah yang pertama meiliki sifat superior dibandingkan dengan yang kedua,
yang terkesan seperti inferior. Sudut pandang strukturalisme juga mengemukakan
bahwa bahasa itu dibangun secara terstruktur dan sistematis. Signifant dan signifie,sebagai penanda dan petanda melahirkan sebuah tanda yang
mana tanda ini diatur dalam sistem
bahasa. Bahakan ada pendapat bahwa bahasa dapat membentuk dunia dan juga ‘mendoktrin’
bagaimana cara kita melihat sesuatu. Artinya kita telah memberikan hak atau
sebuah makna yang andal terhadap suatu bahasa melalui sebuah tandatersebut atau kata.
Bagi
kaum postrukturalis, strukturalisme memiliki kelamahan dan ketidakstabilan yang
sangat laten di dalamnya. Peter Barry menjelaskannya dalam sebuah analogi; jika
kita berada di ruang angkasa dimana tidak ada gravitasi, tidak ada atas bawah,
kita tidak akan bisa menentukan bagaimana caranya untuk naik. Sehingga bagi
kaum postrukturalis dunia ini adalah alam
semesta tanpa pusat. Di alam semesta ini kita tak bisa tahu di mana kita
berada, karena semua konsep yang sebelumnya mendefinisikan pusat tersebut, dan
berarti juga pinggir alam semesta, telah ‘didekonstruksi’, atau dilemahkan
(Peter Barry, 2010: 72).
Hal
ini selaras dengan apa yang dikatakan Ratna (2007: 143-144), bahwa kelemahan
strukturalisme dapat diidentifikasikan sebagai berikut: a) model analisis
strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab
semata-mata didasarkan atas struktur dan sistem tertentu, b) strukturalisme
terlalu banyak memberikan perhatian terhadap katya sastra sebagai kualitas
otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subjek manusianya,
yaitu pengarang dan pembaca, c) hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi
karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Salah
satu teori yang lahir pada masa postrukturalisme adalah teori dekonstruksi.
Teori ini muncul pada era postmodern, yang mana era ini ditandai dengan dominasi
informasi dengan simbol komputer. Postmodernisme muncul pada tahun 1960-1990.
Teori dekonstruksi memberikan pengertian bahwa makna itu tidaklah stabil. Teori
ini lahir atas dasar sifat manusia yang selalu bertanya-tanya, atau dalam Peter
Barry disebut “skeptisisme linguistik radikal”. Salah satu tokoh yang paling
berpengaruh adalah Jacques Derrida. Akibat dari teori ini, banyak bermunculan
teori-teori lain seperti teori feminisme, Marxis, postkolonialisme, dan
lain-lain.
Dekonstruksi
Jacques
Derrida (1930-2004) adalah seorang Yahudi yang lahir di Aljazair. Pada umur 19
tahun ia pergi ke Perancis sebagai seorang mahasiswa. Pada tahun 1956-1957 ia
datang ke Harvard dalam program scholarship, dan pada tahun 1975 ia mengajar di
Yale University.Ia kemudian menjadi seorang ahli filsafat dan kritik sastra,
tetapi ia tidak ingin disebut seperti itu. Konsep dekonstruksi Derrida mulai
dikenal melalui makalahnya yang berjudul “Structure,
Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” pada tahun 1966. Di
dalam makalah ini, tulisan Derrida sangat terasa unsur filsafat Nietzche dengan
ungkapannya yang terkenal, “Fakta itu tidak ada, yang ada hanya interpretasi”,
hingga menghasilkan suatu peristiwa ‘penghilangan pusat’ dalam suatu kebenaran
intelektual. Teori dekonstruksi dipioniri oleh tulisannya pada tahun 1967 yang
berjudul Of Grammatology, yang
kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa inggris oleh Gayatri Chakravorty
Spivak.
Melalui
dekonstruksinya, Derrida mematahkan beberapa konsep linguistik Saussurean. Ia
(dalam Ratna, 2007: 222) mengemukakan secara definitif perbedaan sekaligus ciri
khas dekonstruksi adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme
yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya
yang bersifat hierarkis dikotomis.
Pengertian
lain mengenai dekonstruksi adalah sebuah strategi membaca. Dekonstruksi
dijadikan sebagai cara atau metode dalam memahami sebuah teks, ‘menelanjangi’
struktur teks, menginterpretasi makna teks hingga ke berbagai kemungkinan dan
melawan sifat makna atau kebenaran tunggal. Sehingga makna teks tersebut
bermuatan filosofis. Pembacaan dekonstruktif menyoroti ruang-ruang gelap dan
berusaha menemukan makna dari ruang gelap itu yang turut membangun struktur teks
tersebut.
Logosentrisme
Logosentrisme berakar pada kata Logos. C. H. Dodd (dalam M. A. R. Habib,
2005: 650) menjelaskan bahwa logos sendiri
berarti konsep atau pikiran dan sebuah kata. Kata ini juga ditemukan dalam
kultur bahasa Hebrew yang berarti ‘berbicara’. Melalui ini bisa disimpulkan
bahwa perkataan atau tuturan memiliki nilai kebenaran yang absolut. Dalam
konsep ketuhanan juga ditemukan logos dimana
perkataan yang disampaikan oleh Tuhan merupakan sebuah kebenaran.
Dalam ilmu linguistik, logosentrisme
juga ditemukan dalam konsep signifant dan
signifieatau penanda dan petanda.
Kebenaran merupakan sebuah hubungan yang sepadan antara penanda dan petanda
sehingga menghasilkan suara/bentuk yang berupa tanda. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa tuturan atau
perkataan dianakemaskan dan memiliki sifat kebenaran, dan tulisan merupakan
yang dipinggirkan. Tuturan dijadikan pusat dalam menentukan kebenaran yang
absolut itu sementara tulisan hanya bersifat sekunder, termediasi, dan
mewakili. Dalam konsep ini terlihat sekali contoh hierarki yang dimainkan dalam
sebuah bahasa.
Derrida menyangkal atau menolak terhadap
konsep logosentrisme ini yang mana bila dipahami secara jelas konsep ini hanya
mengambil sikap adanya kebenaran tunggal. Menurut Derrida, tulisan bila dilihat
dengan cara lain merupakan hal sudah ada sebelum ucapan oral. Tulisan telah
dirangkum dalam pikiran lalu disampaikan melalui ucapan oral. Dapat disimpulkan
bahwa dalam hal ini tulisan malah lebih istimewa daripada ucapan. Tulisan
mengandung makna yang tidak hanya bersifat tunggal dan hal ini menempatkan di
luar jangkauan kebenaran tunggal atau logos.
Differance
atau
Difference
Differance
atau difference adalah dua kata yang bila diucapkan sama tetapi hanya cara
penulisannya saja yang berbeda. Differanceadalah
kata Perancis yang berasal dari bahasa Latin, differre, yang berarti to
differ (membedakan), dan defer (menunda
atau menangguhkan). Untuk menggambarkan konsep tentang differance ini Derrida melihat makna pada tanda dalam sebuah tulisan
sebagai trace (jejak). Jejak yang
berarti bekas tapak kaki yang harus ditelusuri siapa yang meninggalkan jejak
kaki tersebut. Jadi makna yang dihadirkan dalam dalam sebuah tanda tidak
memiliki makna yang tunggal, melainkan memiliki makna-makna atau ‘jejak-jejak’
lain yang mengikuti di belakang tanda tersebut. Ratna menganalogikannya seperti
tanda ‘merah’ dalam lampu lalu lintas. Tanda ‘merah’ dalam lampu lalu lintas
tidak dengan sendirinya berarti berhenti. Ia berarti berhenti hanya dalam
relasi aturan lalu lintas, sebagai kebiasaan. Oleh karena itu makna tidak
secara langsung hadir dalam tanda (Ratna, 2007: 226).
Melalui konsep differance ini, Derrida menolak sekaligus mematahkan terhadap
adanya petanda atau makna absolut, makna universal, yang dianut oleh paham
linguistik Saussurean. Menurut Derrida, tulisan lebih utama ketimbang tuturan.
Tanda dalam tulisan memiliki aturan atau konsep dalam differance. Tanda-tanda dalam tulisan selalu mengimplikasikan
makna, sehingga makna dalam tulisan atau karya sastra selalu berbeda dan
tertunda, tidak seperti tuturan yang bersifat terstruktur. Tanda dalam karya
sastra selalu meninggalkan celah dalam setiap jejaknya, sehingga pencarian
makna absolut mustahil dilakukan. Setelah makna satu didapat, ternyata makna
yang lain masih bisa mungkin terjadi.
Oposisi Biner
Dalam
liguistik juga dikenal dengan yang namanya oposisi biner. Oposisi biner adalah
unit-unit dalam bahasa yang selalu bertentangan dalam konsep makna, tetapi
selalu jalan berdampingan. Contoh oposisi biner yang mudah adalah antara kaya
dan miskin. Kita tidak akan bisa mengetahui makna dari konsep ‘kaya’ jika kita
tidak mengetahui konsep dari makna ‘miskin’. Jadi bisa diartikan bahwa ‘kaya’
adalah tidak miskin, sementara ‘miskin’ adalah bukan kaya. Dalam ilmu
linguistik, oposisi biner juga terlihat dalam konsep penanda/petanda,
tuturan/tulisan, langue/parole.
Oposisi biner menghasilkan sesuatu
yang bersifat hierarkis, yang mana istilah-istilah pertama lebih superior
dibanding yang kedua. Istilah-istilah yang kedua hanya merupakan representasi
yang berlawanan dari istilah pertama, atau bersifat inferior. Yang pertama
lebih mendominasi, sementara yang kedua didominasi oleh yang pertama. Derrida
menentang konsep menjadikan yang pertama lebih superior dibanding yang kedua.
Yang kedua bukan berarti tidak penting dan tidak memiliki kekuatan. Terkadang
justru yang kedua malah mempunyai kekuatan untuk menentukan atau ‘menyetir’
yang pertama. Jika tidak ada yang kedua, yang pertama tidak akan ada.
Dekonstruksi
merupakan cara membaca yang bertujuan untuk membuka makna-makna hingga ke
tempat tanpa batas, menunjukan bahwa makna dari teks bisa saja berarti lain
dari yang selama ini telah diartikan. Dalam melakukan pembacaan dekonstruktif,
pembaca harus melihat kepada oposisi biner dan sifat-sifat hierarkis dalam
teks, dan menganalisis apa yang ‘dimarjinalkan’ dalam teks, dan juga memberikan
perhatian kepada ironi, ambiguitas, konflik, paradoks, dan juga
pengulangan-pengulangan dalam teks. Teori dekonstruksi menyoroti hal-hal yang
selama ini tidak dilihat keberadaannya, dan ternyata hal tersebut adalah
ruang-ruang gelap yang turut serta membangun teks.
Pustaka Acuan
Barry,
Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar
Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Diterjemahkan dari Beginning Theory, and Introduction to
Literary and Cultural Theory oleh Harviyah Widiawati dan Evi Setyarini.
Yogyakarta: Jalasutra.
Bertens,
Hans. 2008. Literary Theory: The Basics.
London dan New York: Taylor & Francis.
Derrida,
Jacques. 1997. Of Grammatology.
Baltimore: John Hopkins University Press.
Habib, M. A. R.
2005. A History of Literary Criticism.
Cornwall: Blackwell Publishing.
Muzir,
Inyiak Ridwan. 2002. Pengantar Penerjemah
dari penerjemahanDeconstruction:
Theory and Practice Christopher Norris. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Norris,
Christopher. 2003. Membongkar Teori
Dekonstruksi Jacques Derrida. Diterjemahkan dari Deconstruction: Theory and Practice oleh Inyiak Ridwan Muzir.
Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Spivak,
Gayatri Chakravorty. 1997. Translator’s
Preface dari penerjemahan Of
Grammatology Jacques Derrida. Baltimore: John Hopkins University Press.
Senin, 11 Mei 2015
Angin
Karya: Zajran
jika di tengah jalan
kau dicumbu oleh angin yang tak sempat kau sapa
katakan dalam hati:
“aku juga merindukannya.”
Senin, 04 Mei 2015
Suburban
Oleh: Zajran
“Panas sekali siang ini!” gumamku. Panasnya mampu
menembus sampai ke tulang-tulang hingga para lalat pun enggan untuk beterbangan
di atas genangan air kotor maupun tempat sampah. Debu-debu membentuk
serangkaian molekul kasat mata di udara. Aku menengadah. Langit tak pernah
berdusta. Ia selalu biru dengan bagusnya pada siang ini. Awan pun begitu.
Putih, bersih, berjalan perlahan mengikuti arah angin di atas sana. Aneh,
keadaan hectic di bumi ini terjadi
pada bulan yang biasanya turun hujan dengan derasnya.
Lahan yang dulunya merupakan tanah lapang yang dijadikan
oleh aku dan teman-temanku tempat bermain bola sekarang dibeton. Dijadikan
komplek-komplek perumahan yang katanya minimalis? Tanah yang berwarna merah di
sekitarnya retak-retak seperti kekurangan air. Di mana hujan yang katanya
selalu turun ketika kita membutuhkan? Lamunanku tersadarkan oleh suara peluit
tukang parkir yang sedang mengarahkan sebuah truk keluar menuju jalanan. Suaraya
memekakkan telinga. Aku tancapkan kembali sepeda motorku setelah macet kecil
tadi.
Aku sengaja mengambil jalan ke dalam gang-gang kecil yang
hanya bisa dilewati oleh maksimalnya 3 motor. Rumah-rumah di gang tersebut
sekarang persis seperti gedung pencakar langit jika bagi semut. Hampir
seluruhnya lebih dari 1 lantai. Heran, padahal dulunya gang ini hanya padang
ilalang yang rumputnya sering aku jadikan maianan ketika aku kecil. Ya, aku
yakin sekali akan hal itu. Dulu banyak bebatuan pejal yang tersebar secara acak
di padang ilalang ini. Mereka tak pernah hancur digempur hujan. Tapi sekarang
mereka sudah hilang. Hebat sekali orang-orang sekarang, mampu menyingkirkan
bebatuan yang sebegitu pejalnya dan aku yakin sekali batu itu pasti sangatlah
berat!
Daerah ini dulunya sangat dikenal dengan kesejukannya.
Pikiranku melayang ke masa kecil. Aku ingat pertama kali ketika pindah ke sini
dari Jakarta pada tahun 1990. Ayahku mengatakan bahwa di tempat yang baru nanti
aku akan bisa melakukan hal-hal perkebunan selayaknya mimpi anak-anak urban.
Berkebun, bermain lumpur, dan juga melihat petani-petani yang sedang membajak
sawahnya. Pikiran liar masa kecilku berimajinasi dengan senangnya ketika
mendengar hal tersebut.
Ternyata daerah ini tidak terlalu jauh dari Jakarta.
Hanya membutuhkan waktu 3 kali tidur sambil merengek di dalam mobil panas tanpa
pendingin milik keluargaku. Kalau dihitung menggunakan waktu yang pasti
kira-kira sekitar 2 jam. Ketika sampai, Ibu membangunkan dengan memercikan air
dengan maksud menyegarkan ku. Ketika aku mebuka mata, Ayah dan Ibu mulai
membuka pintu mobil dan turun. Akupun ikut turun dan berdiri di depan sebuah
rumah. Rumah yang kokoh. Di sebelahnya terdapat pohon-pohon liar yang menjalar
dengan kacaunya.
“Kita mendapatkan PR besar bu, nak”, kata Ayah sambil
menunjuk ke arah pohon-pohon liar tersebut.
“Apa nama tempat ini, bu?” tanya ku pada Ibu.
“Setau Ibu namanya adalah Suburban. Itu juga kalau tidak
salah”.
Aku hanya berdiri melongo. Memori tersebut tejadi begitu
cepat di dalam pikiranku. Ternyata aku sedang berdiri persis ketika 23 tahun
yang lalu aku menginjakkan kakiku pertama kali di daerah pinggiran Jakarta ini.
Dulu hanya ada beberapa rumah yang berdiri di dekat
rumahku. Sekarang hampir ada 70 rumah di dalam gang yang panjangnya kurang
lebih 100 meter ini. Bayangkan, 70 Rumah dalam gang sesempit ini! Pantas saja
kami selalu kekurangan air jika musim panas tiba.
Jumlah penduduk di Suburban semakin hari semakin
bertambah. Berbagai bangunan memejalkan berbagai tempat di semua sisi. Aku tahu
mengapa orang-orang ingin sekali tinggal di sini. Pasti karena tempatnya yang
strategis, dekat dengan Jakarta. Sementara orang-orang tersebut akan mencari
pekerjaan di Jakarta dengan slogannya yang mengatakan “Jakarta adalah surganya
lapangan pekerjaan. Datanglah dan buktikan!” Aku kira hal itu susah untuk
dibuktikan. Aku saja bekerja sebagai kurir jasa antar barang di Jakarta. Lantas
di mana bentuk “surga” yang katanya kita bisa buktikan di Jakarta?
Aku mengurungkan niat untuk pulang ke rumah. Aku takut
Ayah dan Ibu kecewa mendengar aku sedang bolos kerja. Aku malas sekali pergi
kerja hari ini. Aku berniat pergi menuju warung kopi yang biasa dijadikan
tempat bolos anak sekolah. Anak sekolah bolos. Pergi ke warung kopi untuk sekadar
bercanda dengan temannya dan minum kopi sambil merokok adalah hal yang lumrah
saat ini.
Azan zuhur berkumandang ketika aku sedang berada di
tengah jalan menuju warung kopi. Masjidnya terletak di samping Pasar Raya
Suburban. Masjid yang besar dengan kubahnya yang mewah. Tapi ada yang aneh
siang itu. Orang-orang sangatlah ramai di pasar tersebut. Mereka tidak menghiraukan
suara azan sama sekali yang datangnya dari masjid di sebelah mereka. Mereka
malah asyik dengan kegiatannya masing-masing. Lalu ada hal aneh lainnya. Suara
azannya tidak semerdu azan-azan yang ada di berbagai stasiun televisi. Ternyata
yang azan di masjid tersebut adalah seorang kakek yang sudah sangat tua renta.
Dia terengah-engah ketika menumandangkan azannya. Dengan alat pengeras suara, suara
serak dan deru napasnya terdengar sangat jelas. Karena merasa iba akupun membelokkan
arah ke masjid tersebut.
Setelah selesai wudu aku masuk ke dalam masjid tersebut.
Luas sekali bagian dalamnya. Setelah selesai azan, kakek tua tersebut
berselawat sambil menunggu jamaah yang lain datang. Suaranya masih serak
seperti kurang minum. 15 menit ia bershalawat tak ada satu jamaah tambahan pun
yang datang. Hanya kami berdua. Padahal pengeras suara di masjid itu mampu mencapai
jarak ratusan meter di sekitarnya. Kemudian ia berdiri. “Untung ada elu, cu.
Kalo kaga ada mah baba qomat sendiri, sholat sendiri.” Ia menyuruhku untuk
untuk iqamat sambil memberikan microphone
kepada ku. Kami salat dengan khidmat. Sejuk sekali sehingga aku lupa
bahwasannya hari ini begitu panas.
Setelah selesai salat kami berdua berbincang-bincang
sedikit di teras masjid tersebut. Kotak amal yang ada di masjid itu sangat
sedikit isinya. Berisi recehan logam dan uang-uang kertas yang sudah lusuh.
Akhirnya aku tidak jadi pergi ke warung kopi dan kembali
menuju rumah. Ketika sampai di rumah, Ayah dan Ibu sedang menonton televisi
berdua. Ayah memang sudah lama tidak berkerja lagi karena sakit stroke yang
dideritanya. Mereka tidak sadar ketika aku pulang dan masuk ke dalam rumah.
Ketika aku menghampiri mereka dan melihat ke arah televisi, aku terkejut. “Beli!
Beli! Beli! Suburban adalah tempat terbaik untuk ditinggali! Dekat dengan
Jakarta! Beli rumah minimalis dan dapatkan cicilan dengan harga murah. Tunggu
apalagi, harga akan naik minggu depan!”
Langganan:
Postingan (Atom)